Daftar Blog Saya

Senin, 06 Desember 2010

globalisasi


Khususnya, globalisasi terbentuk oleh adanya kemajuan di bidang komunikasi dunia.
Ada pula yang mendefinisikan globalisasi sebagai hilangnya batas ruang dan waktu akibat kemajuan teknologi informasi. Globalisasi terjadi karena faktor-faktor nilai budaya luar, seperti:
a. selalu meningkatkan pengetahuan; f. etos kerja;
b. patuh hukum; g. kemampuan memprediksi;
c. kemandirian; h. efisiensi dan produktivitas;
d. keterbukaan; i. keberanian bersaing; dan
e. rasionalisasi; j. manajemen resiko.

Globalisasi terjadi melalui berbagai saluran, di antaranya:
a. lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan;
b. lembaga keagamaan;
c. indutri internasional dan lembaga perdagangan;
d. wisata mancanegara;
e. saluran komunikasi dan telekomunikasi internasional;
f. lembaga internasional yang mengatur peraturan internasional; dan
g. lembaga kenegaraan seperti hubungan diplomatik dan konsuler.

Unsur globalisasi yang sukar diterima masyarakat adalah sebagai berikut.
a. Teknologi yang rumit dan mahal.
b. Unsur budaya luar yang bersifat ideologi dan religi.
c. Unsur budaya yang sukar disesuaikan dengan kondisi masyarakat.
Unsur globalisasi yang mudah diterima masyarakat adalah sebagai berikut.
a. Unsur yang mudah disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat.
b. Teknologi tepat guna, teknologi yang langsung dapat diterima oleh masyarakat.
c. Pendidikan formal di sekolah.
Modernisasi dan globalisasi membawa dampak positif ataupun negatif terhadap perubahan Sosial dan budaya suatu masyarakat.

Hal yg mendorong derasnya arus globalisasi adalah kemajuan dlm bidang :
1. Teknologi informasi
Perkembangan pesat teknologi informasi melalui penggunaan komputer, satelit dan internet
memungkinkan orang mengakses informasi yang dibutuhkan secara cepat.
2. Teknologi Komunikasi
Murahnya harga hp ( telp seluler ), kartu perdana dan layanan pesanan singkat (sms)
memungkinkan komunikasi antar orang tidak terganggu jauhnya jarak.
3. Transportasi
Kemajuan transportasi baik darat, laut maupun udara menyebabkan pergerakan ( mobilitas )
manusia dari satu negara ke negara lain semakin cepat.
Arus globalisasi tidak mungkin bisa dibendung karena berkaitan dengan perkembangan
teknologi informasi, komunikasi dan transportasi.
Anggapan terhadap Globalisasi :
 Globalisasi akan membuat dunia seragam sehingga menghilangkan jatiØ diri bangsa, kebudayaan lokal dan identitas suatu daerah, karena arus budaya yang lebih besar yang merupakan budaya dan identitas global.
 Anggapan ini tidak semuanya benar karena terdapat arus globalisasi yang baik dan membawa kemajuan bagi manusia/ masyarakat.Ø
Ciri-ciri Globalisasi
1. Perubahan dalam konsep ruang dan waktu yang diakibatkan oleh perkembangan telepon genggam, televisi satelit dan internet.
2. Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung satu negara dengan negara lain
3. Peningkatan interaksi budaya antar negara melalui media massa
4. Munculnya masalah global yang menuntut dunia mengatasi masalah tersebut secara bersama.

Kata globalisasi diambil dari global yang maknanya universal. Globalisasi belum memiliki definisi atau pengertian yang pasti kecuali sekedar definisi kerja sehingga maknanya tergantung pada sudut pandang orang yang melihatnya.
Ada beberapa definisi global yang dikemukakan oleh beberapa orang sebagai berikut :
a. Malcom waters, seorang professor sosiologi dari Universitas Tasmania, berpendapat, globalisasi adalah sebuah proses social yang berakibat pembatasan geografis pada keadaan social budaya menjadi kurang penting yang terjelma di dalam kesadaran orang.
b. Emanuel richter, guru besar pada ilmu politik Universtas Aashen, Jerman, berpendapat, bahwa globalisasi adalah jaringan kerja global secara bersamaan yang menyatukan masyarakat yang sebelumnya terpencar-pencar dan terisolasi kedalam saling ketergantungan dan persatuan dunia.
c. Princenton N Lyman, mantan duta besar AS di Afrika Selatan, berpendapat bahwa globalisasi adalah pertumbuhan yang sangat cepat atas saling ketergantungan dan hubungan antara Negara-negara di dunia dalam hal perdagangan dan keuangan.
d. Selo Soemardjan, bapak Sosiologi Indonesia, berpendapat bahwa Globalisasi adalah terbentuknya organisasi dan komunikasi antara masyarakat di seluruh dunia untuk mengikuti system dan kaidah yang sama.
Berbagai macam pengaruh globalisasi terhadap bangsa Indonesia :
1. Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai - Nilai Nasionalisme
  • Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme


    1. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur,
      bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat. 
    2. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional,
       meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.
    3. Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.
  • Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme 
    1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang
    2. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
    3.  Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
    4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
    5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.
  • Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda
Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?
Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.


  • Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme
Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :
  1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
  2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
  3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
  4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
  5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.
Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa2


2. Pengaruh Globalisasi Terhadap Peradaban


MEnurut Candra ada 8 aspek positif globalisasi
(1) peranan pelaburan asing (FDI) dalam mewujudkan pekerjaan dan mengurangkan kemiskinan di   sebilangan negara.
(2) peningkatan mobiliti sosial dan pengukuhan kelas menengah.
(3) peluang yang lebih luas untuk mendapatkan maklumat dan menyebarkan ilmu pengetahuan berkat teknologi baru komunikasi dan maklumat.
(4) komunikasi yang lebuh mudah dan juga murah.
(5) peluang yang lebih luas untuk manusia dari berbagai-bagai kumpulan etnik, budaya dan agama berinteraksi.
(6) peluang lebih luas untuk menzahirkan simpati dan rasa keperimanusiaan mereka terhadap mangsa-mangsa pelbagai jenis bencana alam dan tragedi buatan manusia di seluruh dunia.
(7) penonjolan idea-ide dan amalan pemerintahan yang baik seperti pertanggungjawaban awam, peraturan undang-undang dan hak-hak asasi manusia dan akhir sekali.
(8) penonjolan hak-hak asasi kaum wanita.

3.Pengaruh Globalisasi Terhadap Jati Diri Bangsa

1. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis, karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara. Jika pemerintahan dijalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa jati diri terhadap negara menjadi meningkat.
2. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang dapat menunjang kehidupan nasional bangsa.
3. Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa serta akan mempertebal jati diri kita terhadap bangsa.


Pengaruh negatif globalisasi terhadap jati diri bangsa.
1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya jati diri bangsa akan luntur.
2. Globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya jati diri bangsa kita
3. Masyarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa. 
Dampak di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap jati diri bangsa. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau luntur. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Bila dilaksanakan belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dilaksanakan akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.


Pengaruh Globalisasi Terhadap jati diri di Kalangan Generasi Muda.


Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala-gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang. Dari cara berpakaian banyak remaja-remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Padahal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda, internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu akan memperoleh manfaat yang berguna. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu hand phone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak tahu sopan santun dan cenderung tidak peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya generasi muda bangsa? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkhis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai jati diri akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki jati diri?
Marilah kita Mengembalikan Jati Diri Bangsa Indonesia mulai dari sekarang.


4. Pengaruh Globalisasi Ekonomi dan Hukum Ekonomi Internasional dalam Pembangunan Hukum Ekonomi di Indonesia.
Pembangunan hukum adalah suatu pekerjaan yang sama tuanya dengan pekerjaan pembangunan negara dan bangsa. Hadirnya undang-undang sebagai hukum tertulis melalui perundang-undangan dan dalam proses peradilan sebagai yurisprudensi (judge made law) juga telah lama dikenal dalam dunia hukum, demikian pula halnya dengan bagian dari hukum Indonesia yang saat ini semakin penting dan berpengaruh, yaitu hukum ekonomi Indonesia yang daya berlakunya di samping dalam lingkup nasional juga internasional. Relevansi hukum ekonomi semakin menonjol sejak lintas niaga masuk dalam dunia tanpa batas atau globalisasi ekonomi. 
Bagi Indonesia, tepatnya setelah meratifikasi persetujuan internasional di bidang perdagangan dalam suatu organisasi internasional yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO), karena dengan demikian Indonesia harus mematuhi segala ketentuan yang berlaku bagi semua negara anggota WTO dengan segala konsekuensinya. 
Realita ini menempatkan Indonesia untuk benar-benar dan bersungguh-sungguh “mengikuti dan mengembangkan” hukum ekonomi internasional, terutama dalam pelaksanaannya atau penegakkan hukumnya, dimana semua penegak hukum dan pelaku hukum dalam lintas bisnis nasional dan internasional. Hal ini berarti kekeliruan dalam pengelolaannya akan berakibat dirugikannya Indonesia dalam perdagangan internasional atau perdagangan bebas, bahkan dampaknya tidak hanya menyangkut para pihak dalam perjanjian bisnis internasional, melainkan juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. 
Menjawab dan mengantisipasi dampak perdagangan internasional abad XXI, tidak ada jalan lain kecuali harus menempatkan “Manajemen Penegakkan Hukum Bisnis Internasional” sebagai misi strategis dalam mewujudkan ketahanan ekonomi nasional di tengah globalisasi ekonomi yang sudah dan sedang berlangsung akhir-akhir ini. Semakin baik dalam suatu negara hukum itu berfungsi, maka semakin tinggi tingkat kepastian hukum nyata. Sebaliknya, bila suatu negara tidak memiliki sistem hukum yang berfungsi secara otonom, maka semakin kecil pula tingkat kepastian hukumnya.
Perkembangan dalam teknologi dan pola kegiatan ekonomi membuat masyarakat di dunia semakin saling bersentuhan, saling membutuhkan, dan saling menentukan nasib satu sama lain, tetapi juga saling bersaing. Hal ini secara dramatis terutama terlihat dalam kegiatan perdagangan dunia, baik di bidang barang-barang (trade in goods), maupun di bidang jasa (trade in services). Saling keterkaitan ini memerlukan adanya kesepakatan mengenai aturan main yang berlaku. Aturan main yang diterapkan untuk perdagangan internasional adalah aturan main yang berkembang dalam sistem GATT/WTO.
Manakala ekonomi menjadi terintegrasi, harmonisasi hukum mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade Organization) telah didahului oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional seperti Masyarakat Eropah, NAFTA, AFTA dan APEC. Tidak ada kontradiksi antara regionalisasi dan globalisasi perdagangan. Sebaliknya integrasi ekonomi global mengharuskan terciptanya blok-blok perdagangan baru. Berdagang dengan WTO dan kerjasama ekonomi regional berarti mengembangkan institusi yang demokratis, memperbaharui mekanisme pasar, dan memfungsikan sistim hukum. 
Perkembangan yang mandiri dari perusahaan multinasional kerap kali diramalkan sebagai perkembangan suatu badan yang benar-benar tanpa kebangsaan, dan benar-benar mandiri. Peradaban dunia yang kemudian menjadi hukum internasional turut mempengaruhi pembangunan hukum nasional dan sistem perekonomian negara berkembang. Globalisasi ekonomi sekarang ini adalah manifestasi yang baru dari pembangunan kapitalisme sebagai sistem ekonomi internasional. Sebagai suatu ideologi, globalism menawarkan seperangkat ide, konsep, keyakinan, norma dan tata nilai mengenai tatanan masyarakat dunia yang dicita-citakan serta bagaimana cara untuk mewujudkannya.
Bagaimanapun karakteristik dan hambatannya, globalisasi ekonomi menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum, globalisasi ekonomi juga menyebabkan terjadinya globalisasi hukum. Globalisasi hukum tersebut tidak hanya didasarkan kesepakatan internasional antar bangsa, tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan budaya antara barat dan timur. 
Globalisasi di bidang kontrak-kontrak bisnis internasional sudah lama terjadi, karena negara-negara maju membawa transaksi baru ke negara berkembang, maka mitra kerja mereka dari negara-negara berkembang akan menerima model-model kontrak bisnis internasional tersebut, dapat disebabkan karena sebelumnya tidak mengenal model tersebut, dapat juga karena posisi tawar (bargainig position) yang lemah. Oleh karena itu tidak mengherankan, perjanjian patungan (joint venture), perjanjian waralaba (franchise), perjanjian lisensi (license), perjanjian keagenan (agence), memiliki format dan substansi yang hampir sama diberbagai negara. 


Konsultan hukum suatu negara dengan mudah mengerjakan perjanjian-perjanjian semacam itu negara-negara lain, persamaan ketentuan-ketentuan hukum di berbagai negara bisa juga terjadi karena suatu negara mengikuti model negara maju berkaitan dengan institusi-institusi hukum untuk mendapatkan akumulasi modal. 


Undang-undang Perseroan Terbatas diberbagai negara, baik dari negara-negara Civil Law maupun Common Law  berisikan substansi yang serupa. Begitu juga dengan peraturan pasar modal, dimana saja tidak berbeda, satu sama lain. Hal ini terjadi karena dana yang mengalir ke pasar-pasar tersebut tidak lagi terikat benar dengan waktu dan batas-batas negara. Tuntutan keterbukaan (transparency) yang semakin besar, berkembangnya kejahatan internasional dalam pencucian uang (money laundering) dan insider trading mendorong kerjasama internasional. 


Dibalik usaha keras menciptakan globalisasi hukum, tidak ada jaminan bahwa hukum tersebut akan memberikan hasil yang sama di semua tempat. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan politik, ekonomi dan budaya. Hukum itu tidak sama dengan kuda, orang tidak akan menamakan keledai atau zebra adalah kuda, walau bentuknya hampir sama, kuda adalah kuda. Hukum tidak demikian, apa yang disebut hukum itu tergantung kepada persepsi masyarakatnya.


Friedman, menyatakan bahwa tegaknya peraturan-peraturan hukum tergantung kepada budaya hukum masyarakatnya. Budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan. Dalam menghadapi hal yang demikian itu perlu “check and balance” dalam bernegara. “check and balance” hanya bisa dicapai dengan parlemen yang kuat, pengadilan yang mandiri, dan partisipasi masyarakat melalui lembaga-lembaganya. Dalam hal tersebut, khususnya dalam masalah pengawasan dan Law Enforcement, dua hal yang merupakan komponen yang tak terpisahkan dari sistim rule of law. Tidak akan ada law enforcement kalau tidak ada sistim pengawasan dan tidak akan ada rule of law  kalau tidak ada law enforcement yang memadai. 


E.C.W. Wade dan Godfrey Philips menyatakan tiga konsep mengenai “Rule of Law” yaitu The Rule Of Law mendahulukan hukum dan ketertiban dalam masyarakat yang dalam pandangan tradisi barat lahir dari alam demokrasi; The Rule of Law menunjukkan suatu doktrin hukum bahwa pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum; The Rule of Law menunjukkan suatu kerangka pikir politik yang harus diperinci oleh peraturan-peraturan hukum baik substantif maupun hukum acara.Berbagai unsur dari pengertian Rule of Law tersebut haruslah dilaksanakan secara keseluruhan, bukan sepotong-sepotong, dan dalam waktu bersamaan. Pengecualian dan penangguhan salah satu unsurnya akan merusak keseluruhan sistim. 


Pada tataran ide normatif dalam GBHN,  hukum secara tegas diletakkan sebagai pendorong pembangunan, khususnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan amanat ini, maka hukum tentu sangat memerlukan dukungan yang terdiri dari personalia yang profesional dan beretika, organisasi yang kapabel dan berdaya guna, serta peradilan yang bebas dan berhasil guna. Semuanya ini adalah sebagian prasyarat konsepsional yang paling di butuhkan dalam konteks kekinian Indonesia. Sayangnya, ketika memasuki tataran implementasi-sosiologis, selain tampak dengan jelas berbagai hal yang menggembirakan, terlihat pula adanya “peminggiran” peran hukum dalam upaya mencapai kemajuan bangsa yang telah dicanangkan. Dalam berbagai arena pergulatan hidup masyarakat, terkadang dengan mudah  dilihat atau dirasakan kemandulan peran dan fungsi hukum. 


Sebagai penutup tulisan ini, rasanya masih sangat relevan apa yang dikemukakan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang menyatakan bahwa dalam usaha membangun hukum nasional yang berlaku untuk seluruh bangsa dan sanggup mengantisipasi kemajuan dan pergaulan dengan dunia internasional, kita harus memegang teguh pada batas-batas dan pembedaan antara hukum perdata, dan hukum publik dan antara hukum perdata dan hukum pidana yang sudah umum diterima oleh masyarakat dunia.

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun (lihat Jalur Sutra, Amber Road), dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong Industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional.

Daftar isi

[sunting] Teori Perdagangan Internasional

Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang impor.
Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan.

[sunting] Model Ricardian

Model Ricardian memfokuskan pada kelebihan komparatif dan mungkin merupakan konsep paling penting dalam teori pedagangan internasional. Dalam Sebuah model Ricardian, negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang mereka paling baik produksi. Tidak seperti model lainnya, rangka kerja model ini memprediksi dimana negara-negara akan menjadi spesialis secara penuh dibandingkan memproduksi bermacam barang komoditas. Juga, model Ricardian tidak secara langsung memasukan faktor pendukung, seperti jumlah relatif dari buruh dan modal dalam negara.

[sunting] Model Heckscher-Ohlin

Model Heckscgher-Ohlin dibuat sebagai alternatif dari model Ricardian dan dasar kelebihan komparatif. Mengesampingkan kompleksitasnya yang jauh lebih rumit model ini tidak membuktikan prediksi yang lebih akurat. Bagaimanapun, dari sebuah titik pandangan teoritis model tersebut tidak memberikan solusi yang elegan dengan memakai mekanisme harga neoklasikal kedalam teori perdagangan internasional.
Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan oleh perbedaan dalam faktor pendukung. Model ini memperkirakan kalau negara-negara akan mengekspor barang yang membuat penggunaan intensif dari faktor pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang yang akan menggunakan faktor lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris dengan model H-o, dikenal sebagai Pradoks Leotief, yang dibuka dalam uji empiris oleh Wassily Leontief yang menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang buruh intensif dibanding memiliki kecukupan modal.

[sunting] Faktor Spesifik

Dalam model ini, mobilitas buruh antara industri satu dan yang lain sangatlah mungkin ketika modal tidak bergerak antar industri pada satu masa pendek. Faktor spesifik merujuk ke pemberian yaitu dalam faktor spesifik jangka pendek dari produksi, seperti modal fisik, tidak secara mudah dipindahkan antar industri. Teori mensugestikan jika ada peningkatan dalam harga sebuah barang, pemilik dari faktor produksi spesifik ke barang tersebut akan untuk pada term sebenarnya. Sebagai tambahan, pemilik dari faktor produksi spesifik berlawanan (seperti buruh dan modal) cenderung memiliki agenda bertolak belakang ketika melobi untuk pengednalian atas imigrasi buruh. Hubungan sebaliknya, kedua pemilik keuntungan bagi pemodal dan buruh dalam kenyataan membentuk sebuah peningkatan dalam pemenuhan modal. Model ini ideal untuk industri tertentu. Model ini cocok untuk memahami distribusi pendapatan tetapi tidak untuk menentukan pola pedagangan.

[sunting] Model Gravitasi

Model gravitasi perdagangan menyajikan sebuah analisa yang lebih empiris dari pola perdagangan dibanding model yang lebih teoritis diatas. Model gravitasi, pada bentuk dasarnya, menerka perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan interaksi antar negara dalam ukuran ekonominya. Model ini meniru hukum gravitasi Newton yang juga memperhitungkan jarak dan ukuran fisik diantara dua benda. Model ini telah terbukti menjadi kuat secara empiris oleh analisa ekonometri. Faktor lain seperti tingkat pendapatan, hubungan diplomatik, dan kebijakan perdagangan juga dimasukkan dalam versi lebih besar dari model ini.

[sunting] Manfaat perdagangan internasional

Menurut Sadono Sukirno, manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut.
  • Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri
    Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya : Kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
  • Memperoleh keuntungan dari spesialisasi
    Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
  • Memperluas pasar dan menambah keuntungan
    Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.
  • Transfer teknologi modern
    Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.

[sunting] Faktor pendorong

Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di antaranya sebagai berikut :

[sunting] Peraturan/Regulasi Perdagangan Internasional

Umumnya perdagangan diregulasikan melalui perjanjian bilatera antara dua negara. Selama berabad-abad dibawah kepercayaan dalam Merkantilisme kebanyakan negara memiliki tarif tinggi dan banyak pembatasan dalam perdagangan internasional. pada abad ke 19, terutama di Britania, ada kepercayaan akan perdagangan bebas menjadi yang terpenting dan pandangan ini mendominasi pemikiran diantaranegara barat untuk beberapa waktu sejak itu dimana hal tersebut membawa mereka ke kemunduran besar Britania. Pada tahun-tahun sejak Perang Dunia II, perjanjian multilateral kontroversial seperti GATT dab WTO memberikan usaha untuk membuat regulasi lobal dalam perdagangan internasional. Kesepakatan perdagangan tersebut terkadang berujung pada protes dan ketidakpuasan dengan klaim dari perdagangan yang tidak adil yang tidak menguntungkan secara mutual.
Perdagangan bebas biasanya didukung dengan kuat oleh sebagian besar negara yang berekonomi kuat, walaupun mereka terkadang melakukan proteksi selektif untuk industri-industri yang penting secara strategis seperti proteksi tarif untuk agrikultur oleh Amerika Serikat dan Eropa. Belanda dan Inggris Raya keduanya mendukung penuh perdagangan bebas dimana mereka secara ekonomis dominan, sekarang Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Jepang merupakan pendukung terbesarnya. Bagaimanapun, banyak negara lain (seperti India, Rusia, dan Tiongkok) menjadi pendukung perdagangan bebas karena telah menjadi kuat secara ekonomi. Karena tingkat tarif turun ada juga keinginan untuk menegosiasikan usaha non tarif, termasuk investasi luar negri langsung, pembelian, dan fasilitasi perdagangan. Wujud lain dari biaya transaksi dihubungkan dnegan perdagangan pertemuan dan prosedur cukai.
Umumnya kepentingan agrikultur biasanya dalam koridor dari perdagangan bebas dan sektor manufaktur seringnya didukung oleh proteksi. Ini telah berubah pada beberapa tahun terakhir, bagaimanapun. Faktanya, lobi agrikultur, khususnya di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, merupakan penanggung jawab utama untuk peraturan tertentu pada perjanjian internasional besar yang memungkinkan proteksi lebih dalam agrikultur dibandingkan kebanyakan barang dan jasa lainnya.
Selama reses ada seringkali tekanan domestik untuk meningkatkan arif dalam rangka memproteksi industri dalam negri. Ini terjadi di seluruh dunia selama Depresi Besar membuat kolapsnya perdagangan dunia yang dipercaya memperdalam depresi tersebut.
Regulasi dari perdagangan internasional diselesaikan melalui World Trade Organization pada level global, dan melalui beberapa kesepakatan regional seperti MerCOSUR di Amerika Selatan, NAFTA antara Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, dan Uni Eropa anatara 27 negara mandiri. Pertemuan Buenos Aires tahun 2005 membicarakan pembuatan dari Free Trade Area of America (FTAA) gagal total karena penolakan dari populasi negara-negara Amerika Latin. Kesepakatan serupa seperti MAI (Multilateral Agreement on Invesment) juga gagal pada tahun-tahun belakangan ini.

Kaidah Kerjasama, Perdagangan Bebas dan Globalisasi

By Admin March 31, 2008 Print This Post Print This Post Kirim komentar
Oleh: Sukasah Syahdan
Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak
Vol. II, Edisi 23, Tanggal 31 Maret 2008
Apa jadinya nasib negara inferior yang miskin akan sumber daya alam, populasi penduduknya relatif tidak terdidik, dan kemampuan produksinya jauh di bawah negara-negara lain di kancah globalisasi? Tidakkah sudah sepatutnya negara tersebut mendirikan rintangan perdagangan agar industri domestik dapat berkembang tanpa gangguan eksternal? Dari sudut pandang negara-negara maju dan kaya, bagaimana mungkin negara terbelakang seperti itu menawarkan sesuatu bagi mereka?
Pertanyaan-pertanyaan di atas menutup artikel sebelumnya, Melacak Basis Tatanan Sosial Kita. Jawaban-jawabannya sangat erat terkait dengan apa yang sering disebut sebagai hukum keunggulan komparatif.
alt textDavid Ricardo
Hukum ini tidak lain merupakan perpanjangan konsep pembagian kerja sesuai dengan pandangan Adam Smith, sebagaimana dikembangkan dan dielaborasi secara cemerlang kemudian oleh seorang ekonom berkebangsaan Inggris, yaitu David Ricardo.
Dalam artikel lanjutan ini akan dicoba disarikan teori fundamental tersebut dan akan diperlihatkan bagaimana bangsa yang relatif inferior dalam segala hal dari bangsa-bangsa lain tetap akan diuntungkan jika bangsa tersebut memilih spesialisasi dan membuka perekonomiannya untuk bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain.
Ilustrasi yang mendasari penjelasan teori tersebut sengaja sengaja diangkat dari tingkat yang personal, dan dapat dirunut sendiri oleh sidang pembaca ke tingkat komunal, nasional ataupun dan internasional, tanpa kehilangan relevansi.
Pemahaman kita akan teori ini akan memberi kita landasan untuk memahami hakikat pertukaran antarindividu, perdagangan antarbangsa, globalisasi, atau hal-hal semacam itu. Lebih lanjut, landasan ini dapat dijadikan pegangan manakala kita perlu memaknai penjelasan sejumlah pakar modern (nasional maupun internasional) yang, sangat disayangkan, seringkali mengadvokasikan pandangan yang justru bertentangan dengan pembahasan di sini.
(Pandangan banyak pakar ekonomi yang berpengaruh dewasa ini dalam banyak hal justru kembali ke ideologi merkantilistik. Mereka cenderung melihat perdagangan antarbangsa sebagai perkara zero-sum. Contohnya adalah pandangan pemenang nobel ekonomi (2001) Prof. Michael Spence, yang menyarankan minggu lalu di Indonesia, agar negara-negara berkembang, termasuk negeri ini, tidak usah tergesa-gesa dalam membuka perekonomiannya; atau pandangan Prof. Rodrik yang mencoba menengarai bahwa negara-negara yang melakukan “liberalisasi” perekonomian justru mengalami kemunduran pertumbuhan ekonomi; atau ekonom Paul Craig Roberts yang skeptis terhadap perdagangan bebas. Hemat saya, tanpa meneliti secara mendalam makna “liberalisasi” dan sepak terjang pemerintah vis-à-vis kebebasan para pelaku dalam proses “liberalisasi” tersebut, advokasi semacam di atas berpotensi semakin mengacaukan, bahkan mendistorsi, pemahaman pembaca pada umumnya.]
Untuk sementara kita cukupkan tujuan kita sekadar untuk memahami teori keunggulan komparatif menurut Ricardo.
Dari Tohpati ke Pak Tarno
alt textTohpati
Mari ambil contoh seorang gitaris muda berbakat, yang mungkin Anda kenal. Namanya Tohpati; pada suatu waktu ia kebetulan pernah menjadi tetangga saya. Keahlian musiknya, tidak perlu diragukan. Tohpati pernah menjadi gitaris muda terbaik dan sudah menelurkan beberapa album solo maupun kolaboratif yang cukup sukses di pasaran.
alt textPak Tarno
Saya perkenalkan juga di sini Pak Tarno. Ia tukang batu, alias pemasang bata dan jasa pembangunan/perbaikan rumah, di wilayah kami tinggal. Dulu Tohpati dan saya sama-sama sering memakai jasanya. (O ya, minggu depan Pak Tarno akan ngunduh mantu. Anak lelakinya, Benny, akan dinikahkan, sesuai undangan yang saya terima tadi pagi.)
Kedua figur nyata dan berbeda profesi ini akan kita kaitkan dengan sebuah pertanyaan awal. Seberapa piawaikah Tohpati sebagai seorang tukang batu? Dibandingkan dengan banyak orang lain, mungkin sekali ia dapat menjadi tukang batu yang hebat. Mengapa tidak? Tohpati memiliki deksteritas (keterampilan tangan) yang tinggi selain ketelatenan dan kreativitasnya yang tinggi. Saya yakin, dengan sedikit latihan fisik, ia bisa menjadi tukang batu andal yang lebih baik daripada Pak Tarno atau tukang-tukang lain.
Pertanyaan selanjutnya, apakah seorang Tohpati, ketika tembok pagar rumah barunya perlu renovasi, akan melakukan perbaikan pagar rumahnya sendiri? Bagaimana peluangnya untuk menyewa jasa orang semacam Pak Tarno atas pekerjaan tersebut?
Saya yakin Anda dapat sepakat, besar kemungkinan Tohpati akan menugaskan pekerjaan tersebut kepada seorang tukang. Mengapa? Penjelasan hal ini berkaitan langsung dengan kaidah keuntungan komparatif masing-masing antara Tohpati dan tukang tersebut.
Kendati Tohpati lebih baik dalam hal bertukang dan dalam bermain musik ketimbang Mas Tarno, Tohpati tetap memiliki keuntungan komparatif di bidang musik, sedangkan Mas Tarno dalam bertukang.
Tohpati dan saya sama-sama tahu Mas Tarno akan meminta bayaran, saat ini, Rp 50,000 per hari. Dengan latihan sedikit, Tohpati bisa menjadi tukang batu yang dua kali lebih efisien daripada Mas Tarno. Taruhlah Tohpati lalu memutuskan menjadi tukang. Dengan efisiensinya tadi, anggap saja kita bersedia membayar tenaganya sebagai tukang sebesar Rp 75,000 per hari.
Dengan bermain musik, dapat dibayangkan musisi setenar Tohpati dapat menghasilkan Rp 2 juta per jam (ini asumsi aman saja; kenyataannya lebih dari itu). Bagaimana dengan Pak Tarno? Tukang kita ini sudah perlu bersyukur jika ada orang yang mau membayarnya Rp 40,000 ribu per jam setiap kali ia tampil di panggung musik (kalau upahnya lebih dari tingkat upah sekarang, tokoh kita ini mungkin sudah lama pensiun dari profesi pertukangan).
Dari perbandingan upah di atas terlihat Tohpati sebagai tukang memiliki keunggulan komparatif dari Pak Tarno, yaitu sebesar 75,000:50,000 atau 1,5:1. Sebagai musisi, keunggulannya dibanding keunggulan Pak Tarno berbanding 2,000,000:40,000 atau 50:1.
Misalkan Tohpati memutuskan bekerja selama 20 jam seminggu, dengan alokasi 10 jam bekerja sebagai pemusik dan 10 jam lagi sebagai tukang. Dengan begitu, total output produktivitasnya adalah sbb: (10 jam bermain musik x Rp 2 juta per jam=Rp 20 juta) + (10 jam bertukang x Rp 75 ribu per jam=Rp 750,000); total output: Rp 20,750,000.
Sementara itu, jika Pak Tarno memutuskan rencana serupa, maka nilai produktivitasnya dapat kita hitung: (10 jam bermain musik x Rp 40 ribu per jam=Rp 400,000) + (10 jam bertukang x Rp 50 ribu per jam=Rp 500,000); atau senilai total output=Rp 900,000.
Kalau Tohpati dan Pak Tarno saling bekerja sendiri-sendiri, maka total nilai produksi mereka adalah Rp 20,750,000 + Rp 900,000 = Rp 21,650,000.
Sekarang dapat kita hitung produktivitas mereka dalam situasi berbagi kerja, di mana Tohpati memutuskan untuk memakai jasa Pak Tarno: Nilai moneter produktivitas Tohpati menjadi: (20 jam bermusik x Rp 2 juta per jam)=Rp 40 juta; total outputnya=Rp 40,000,000.
Sedangkan produktivitas Pak Tarno adalah: 20 jam bertukang x Rp 50 rb=Rp 1,000,000; dengan total output sebesar Rp 1 juta.
Dengan demikian, dengan saling bekerjasama, hasil produksi total keduanya naik menjadi Rp 41,000,000; hampir dua kali lipat!
Kesimpulan apa yang dapat kita tarik dari sini? Dengan saling berproduksi sesuai keunggulan komparatif masing-masing, kedua pihak pelaku pertukaran perniagaan akan sama-sama diuntungkan, setidaknya dalam hal perolehan materi.
Ilustrasi di atas memperlihatkan bagaimana Pak Tarno sang tukang, meski kalah dalam segala hal dalam kedua profesi di atas tetap dapat meningkatkan jerih produktivitasnya dengan berkonsentrasi di bidangnya di mana ia memiliki keuntungan komparatif dan bersedia melakukan pertukaran jasa dengan Tohpati.
Globalisasi
Minggu lalu datang sepucuk komentar via email dari seorang sahabat, sehubungan dengan penulisan bagian pertama dari artikel ini. Teman saya tersebut mencoba menerka ke mana arah penulisan di bagian kedua ini. Menurutnya, Indonesia, sebuah bangsa yang dalam banyak hal inferior, hanya akan menjadi korban dalam proses pertukaran antarbangsa-globalisasi.
Kiranya, pandangannya mewakili pandangan berjuta orang di dunia. Saya berangkat remaja hingga bertahun demikian dengan pandangan demikian, meyakini globalisasi ibarat air pasang yang siap menghempas perahu-perahu kecil di samudra pergaulan antarbangsa. Meskipun daya pikatnya mungkin terasa, perspektif ini harus saya tanggalkan.
Kaidah asosiasi yang dicoba didemonstrasikan di atas menunjukkan bahwa bekerjasama dalam sistem division of labor dan perniagaan bebas akan membawa manfaat bagi semua. Kaidah ini, sekali lagi, tidak lain merupakan perpanjangan dari basis tatanan sosial kita selaku manusia. Meskipun pada awalnya hanya diterapkan dalam menjelaskan fenomena perdagangan, kaidah tersebut adalah hukum universal yang berlaku bagi semua bentuk kerjasama manusia. Mengingat luasnya aplikasi kaidah tersebut, Ludwig von Mises merasa bahwa hukum tersebut lebih tepat dinamakan hukum asosiasi. Saya sependapat. Dalam bahasa Indonesia, saya dengan ini ingin menawarkan padanannya sebagai: kaidah kerjasama.
Menurut kaidah kerjasama ini, meski sebuah bangsa kalah telak dalam hal kemampuan produksinya daripada bangsa lain, bangsa inferior tersebut tetap dapat memetik keuntungan dengan memilih spesialisasi di area di mana dia memiliki keuntungan komparatif dan membuka diri perekonomiannya untuk saling berniaga.
Kita sadari bahwa di dalam konteks globalisasi yang kian riuh, tidak sedikit pihak menyesalkan adanya perbedaan kondisi awal dalam persaingan antarbangsa. Titik awal mereka adalah memandang perdagangan sebagai semacam permainan atau pertempuran-bukan perkara win-win, melainkan urusan zero sum. Mengidamkan kesetaraan dalam titik awal bukanlah sebuah realisme, dan solusi apapun yang berangkat dari premis ini akan menjadi absurd dengan sendirinya. Titik awal kehidupan mustahil dapat diulang, dan hidup bukan pula perlombaan.
Kaidah kerjasama hanya ingin menunjukkan bahwa spesialisasi menyediakan peluang untuk mendapatkan keuntungan material. Hukum ini semata melihat dari sudut pandang keuntungan material yang relatif obyektif-bukan berangkat dari preferensi personal yang subyektif.
Bisa jadi seorang Tohpati ternyata senang melakukan sendiri pekerjaan pertukangan dan tidak mau ambil pusing untuk menyewa orang lain untuk memperbaiki pagarnya. Ini perlu dilihat sebagai pilihan personalnya sendiri.
Namun, jika ada orang semacam Tohpati yang merasa bahwa dengan melakukan sendiri pekerjaan (Do It Yourself) ia merasa berhemat dan akan meningkatkan nilai netto penghasilannya, maka harus dikatakan perasaan yang demikian adalah suatu kekeliruan.
Yang juga penting untuk ditekankan di sini, juga bagi teman saya tersebut adalah optimisme bahwa bangsa Indonesia tetap berpeluang di era free trade dan globalisasi.
Satu-satunya kekuatiran yang masih tersisa, terkait dengan perdagangan bebas dan globalisasi, adalah jika keduanya batal atau tidak benar-benar terjadi. Banyak faktor dapat menganulir virtues perdagangan bebas dan globalisasi–sebut saja penetapan aneka regulasi, duri-duri tarif dan batasan-batasan artifisial lainnya, yang pernah dibahas di Jurnal ini, tetapi berada di luar cakupan tulisan ini. [ ]
Catatan: Oleh sebab keterbatasan ruang, dalam penulisan artikel ini saya menunda pengaitan perspektif Randian dalam penjelasan teori tersebut, sebagaimana yang telah saya janjikan sebelumnya. Perspektif tersebut akan saya pakai dalam tulisan berikutnya, tentang kapitalisme. Mohon maaf dan maklum.

Globalisasi Perekonomian, Keniscayaan “Pasar” Indonesia

Monday, 10 November 2008 05:06 Written by admin
Oleh Subiakto Tjakrawerdaja
 
ImageSaat ini Indonesia mulai memaknai kehidupan kenegaraannya dalam fase globalisasi. Satu diantaranya adalah globalisasi ekonomi, yang merupakan proses kegiatan ekonomi dan perdagangan bebas. Negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kesatuan “Pasar” yang terintegrasi tanpa rintangan atau sekat-sekat teritorial wilayah Negara.
Globalisasi menjadi keharusan menolak atau menghapus hambatan bagi arus modal, barang dan jasa. Dan berdasar globalisasi tersebut membuat keterkaitan ekonomi nasional dengan perekonomian internasional menjadi makin erat. Dalam skala nasional, globalisasi adalah peluang pasar internasional bagi produk dalam negeri secara kompetitif. Namun pada sisi tertentu juga peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik.

Dengan derasnya arus modal, barang dan jasa, membawa konsekuensi terhadap perusahan-perusahan internasional yang berproduksi di berbagai Negara yang dipilih. Pertimbangan mendasar bahwa produktivitas yang dilakukan mendapat biaya produksi murah, sebagai akibat upah buruh yang rendah dan tarif bea masuk yang kecil bahkan tidak dikenakan. Pada aspek tertentu dapat menuntut infrastruktur memadai, termasuk iklim usaha dan politik yang kondusif. Negara yang dipilih, seperti Indonesia merupakan lokasi manufaktur global. Sebagai realita globalisasi menuntut kegiatan perdagangan dan persaingan produksi yang begitu ketat, cepat dan “fair”.

David Ricardo dalam teori “Keuntungan Komparatif”-nya menjelaskan bahwa melalui perdagangan dan spesialisasi dapat mengefesiensikan dunia, output dunia menjadi bertambah dan masyarakat akan memperoleh keuntungan dalam bentuk pendapatan yang meningkat, selebihnya akan meningkatkan daya beli bahkan tabungan (saving). Daya beli dan tabungan adalah cermin dari kemakmuran masyarakat dalam suatu Negara.

Alasan yang dikedepankan adalah dengan perdagangan bebas memungkinkan masyarakat dari berbagai negara mengimpor lebih banyak barang dari luar negeri. Hal ini menempatkan konsumen mempunyai banyak pilihan barang yang dibutuhkan dengan harga bersaing (murah) dan barang yang berkualitas.

Bagi Indonesia --disamping keuntungan komparatif di atas, dampak globalisasi perekonomian (termasuk globalisasi perdagangan) diharapkan dapat memperoleh tambahan modal dan alih teknologi yang lebih baik, yaitu melalui “investasi” modal asing dan membanjirnya tenaga ahli terdidik yang berpengalaman. Memang bagi negara berkembang, kebutuhan modal dan tenaga ahli berpengalaman merupakan masalah utama dalam pertumbuhan perekonomiannya.

Namun, dari keuntungan yang diharapkan tersebut, globalisasi perekonomian juga membawa sisi buruk yang perlu dicermati. Sedikitnya terdapat empat aspek, yaitu pada pertumbuhan industri, neraca pembayaran, stabilisasi perbangkan dan pada aspek pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Aspek pertama, akibat dari globalisasi sebagai sistem perdagangan luar negeri yang bebas. Perkembangan ini menjadikan Negara (Indonesia dan negara berkembang lainnya) tidak dapat lagi menggunakan tarif tinggi sebagai proteksi bagi pertumbuhan industri barunya (infant industry). Disini industri domestik menjadi lambat—bahkan terpuruk, sehingga situasi pasar menjanjikan keuntungan pada industri-industri perusahan multinasional karena didukung oleh permodalan yang besar.

Dampak terhadap neraca pembayaran, lebih disebabkan oleh dua kecenderungan. Pertama adalah kecenderungan globalisasi dari membanjirnya barang-barang impor, sehingga menempatkan produk domestik tidak dapat bersaing dan ekspor menjadi tidak berkembang. Kedua efek globalisasi pada pembayaran netto pendapatan faktor luar negeri yang cenderung defisit. Hal ini akibat dari investasi asing keterkaitan dengan aliran pembayaran keuntungan atau pendapatan “investasi” ke luar negeri.

Aspek stabilisasi perbankan, lebih disebabkan efek globalisasi terhadap aliran investasi “modal” portopolio, yaitu pada partisipasi dana asing ke pasar saham. Dimana “fluctuation” pasar saham berkorelasi terhadap nilai mata uang domestik. Ketidaktetapan di sektor keuangan jelas membawa pengaruh pada stabilitas kegiatan ekonomi nasional.

Sementara aspek keempat, adalah akumulasi dari seluruh aspek di atas. Macetnya sektor industri dalam negeri, buruknya neraca pembayaran dan tidak stabilnya perbankan Indonesia jelas berdampak pada ketidakstabilan pertumbuhan ekonomi. Dan dalam jangka panjang akan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan.

Dari perkembangan dan tuntutan globalisasi di atas, bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia tentu saja menjadi masalah yang secara simultan akan mempengaruhi modal domestik dan produk dalam negeri. Terlebih bila diletakan pada kualitas barang prokduksi dalam negeri yang kurang baik dan beban biaya produksi –-di Indonesia-- yang cukup tinggi.

Realita produk tersebut jelas akan berlanjut pada tingkat persaingan barang produksi “perusahaan” Indonesia menjadi tidak maksimal. Kekalahan kompetitif ini tidak saja disebabkan oleh tingkat kualitas barang yang dihasilan tetapi juga pada harga. Barang produksi luar, disamping harga yang murah dan terjangkau oleh daya beli masyarakat tetapi dibarengi dengan kualitas produksi yang baik. Bahkan kenyataan komparatif tersebut dikuatkan legi oleh “selera-konsumen” masyarakat Indonesia –terutama kelompok elite-- yang cenderung menyukai barang produk impor, sehingga makin memperparah keberadaan barang produksi dalam negeri.

Disinilah globalisasi perekonomian dan perdagangan merupakan keniscayaan bagi perekonomian Indonesia, sehingga membutuhkan pilihan sikap untuk mencermati secara komprehensif. Disamping itu diperlukan sinergisitas dari kelompok kepentingan terkait dalam menentukan pilihan pemberdayaan produksi Indonesia, yaitu antara pemerintah, pelaku usaha Indonesia dan masyarakat. Hal ini tentu dengan mempertimbangkan bahwa 225 juta jumlah penduduk Indonesia adalah pasar domestik yang potensial.

Bagaimana political will pemerintah terkonsentrasi pada kemungkinan pemberdayaan perekonomian nasional, khususnya mengenai kebijakan-kebijakan dalam upaya peningkatan produktivitas usaha mikro, kecil dan menengah. Sedikitnya pada “enam langkah” yang diungkap SBY, Pertama, dengan melakukan pemetaan dunia usaha sebagai pengetahuan dasar potensi keunggulan komparatif dan kompetitif. Dalam hal ini pemerintah membentuk pusat data dan trade house

Kedua, penetapan kebijakan fiskal yang kondusif terhadap iklim usaha, yaitu kemudahan pelayanan pajak dan perolehan kredit. Ketiga, penyediaan bantuan dalam percepatan perkembangan usaha, yaitu pemodalan. Keempat, dorongan dan perlindungan usaha. Seperti pada perkembangan usaha sektor informal sebagai unit penyangga ekonomi masyarakat. Kelima, adalah pengendalian modal asing serta produk impor, mengingat globalisasi perdagangan pada fase tertentu menghancurkan ekonomi dalam negeri.

Keenam, membangun gerakan loyalitas konsumen dalam negeri untuk produksi dalam negeri, pada kemampuan untuk menginformasikan barang-barang produksi domestik. Dalam langkah ini peran para pengusaha lokal meningkatkan kualitas barang produksinya, sekaligus membangun kepercayaan pasar masyarakat.

Sementara pada posisi masyarakat, yaitu tidak lagi sebatas “rela” membentuk selera konsumeristiknya berdasar solidaritas berbangsa, melainkan tumbuh kebanggaan terhadap produk “made in” Indonesia mengingat secara mutu dapat bersaing dengan produk asing. Namun satu hal yang penting untuk dikedepankan adalah “tauladan” kita untuk bersikap mencintai dan membeli produksi Indonesia, sikap sebagai pilihan pada nilai nasionalisme dan kebangkitan ekonomi pribumi, sebagai pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.

Sebagai seorang chairman yang memimpin puluhan CEO harus diakui bahwa Mochtar Riady memiliki visi yang jauh ke depan. Pengetahuannya yang luas dan pengalamannya telah membuat Grup Lippo selamat melewati badai dan guncangan krisis ekonomi berkepanjangan. Pada pertengahan 1995 ia pernah berkata, bahwa dunia sedang mengalami perubahan yang sangat cepat.
”Apabila kita berbicara tentang globalisasi kita sebenarnya didorong ke suatu era yang lebih jauh lagi, yaitu era era globalisasi ditambah liberalisasi tanpa batas negara. Semua itu terjadi karena dua faktor, yaitu revolusi teknologi informasi dan revolusi mata uang,” kata Mochtar.
Menurutnya, sejarah manusia sudah mengalami beberapa kali perubahan cara hidup karena penemuan-penemuan di bidang energi dan teknologi. Pada era 50-an, khususnya di Amerika Serikat terjadi perubahan gaya hidup, yakni masyarakat industri berubah menjadi masyarakat informasi. Akibat dari perubahan itu Amerika harus memindahkan labour intensive industry-nya ke negara-negara lain seperti Jerman Barat dan Jepang.
Tak lama Jepang pun mengalami hal yang sama sehingga harus memindahkan industrinya ke Hong Kong, Singapura, Korea Selatan dan Taiwan. Dan ketika negara-negara tersebut menjadi macan Asia, mereka pun mengalami perubahan structural dalam masyarakatnya sehingga perlu memindahkan industrinya ke RRC dan negara-negara ASEAN.
Perpindahan industri ini menimbulkan investasi silang antarbangsa dan menimbulkan pula apa yang disebut dengan Asia-Euro-Dolar. Inilah era globalisasi. Dengan era globalisasi sedemikian ini timbul suatu ketergantungan antar suatu negara dengan negara lain. Kondisi tersebut meningkatkan hubungan perekonomian dan perdagangan sehingga dibutuhkan peraturan permainan ekonomi internasional.
Menurut catatan Mochtar, ada tiga perjanjian penting yang muncul pada 1994, yaitu GATT, WTO, dan APEC. Kalau ketiga organisasi internasional ini dihubungakan dengan organisasi lain seperti World Bank, IMF, ADB, Uni Eropa, AFTA, dan NAFTA, maka akan semakin jelas kalau organisasi-organisasi international ini semakin berperan penting menggantikan peranan pemerintah individu di dunia. Di sinilah dunia akan memasuki era globalisasi tanpa batas negara (borderless).
Sementara itu pada saat yang bersamaan dunia sedang menyaksikan terjadinya revolusi mata uang. Sebagai contoh, setiap hari terjadi transaksi foreign exchange (forex) lebih dari US$800 miliar, tetapi hanya sekitar US$10 miliar yang memiliki kaitan dengan fungsi alat pembayaran. Sisanya, 90,85 persen tidak ada hubungannya dengan fungsi alat pembayaran, tetapi berhubungan dengan barang dagangan. Kalau sudah menjadi barang dagangan tentu timbul pasar derivatif.
”Derivatif itu sifatnya spekulatif, sementara spekulatif itu adalah perjudian (gambling). Dengan demikian timbullah suatu kasino yang besar dan kuat di dunia. Sadar atau tidak sadar, senang atau tidak senang, siap atau tidak siap, kita sudah terlibat di dalam perjudian setiap hari,” kata Mochtar yang pernah menjadi Chairman Asian Banker Association pada 1992. Selanjutnya menurutnya, jumlah transaksi yang begitu besar, sekalipun lima negara maju menggabungkan forex reserve-nya tidak akan sanggup mengalahkan jumlah transaksi forex dalam sehari. Ini berarti tidak ada satu negara di dunia ini yang bisa memberikan counter exchange terhadap spekulasi.
Dua revolusi, revolusi teknologi yang dicerminkan dengan sistem super highway dan revolusi keuangan yang begitu cepat mutasinya membawa manusia kepada situasi yang serba cepat, serba berubah, serba tidak mantap, dan serba tidak pasti. ”Oleh karena itu, suatu bangsa atau suatu perusahaan harus memberikan reaksi yang cepat, kalau tidak bangsa atau perusahaan itu akan menghadapi masalah dan tekanan,” tegasnya.

[sunting] BUMN Harus Lebih Berperan

Menurut Mochtar, yang mempunyai enam putra dan putri, untuk bisa bersaing di era globalisasi pemerintah harus semakin meningkatkan produktivitas BUMN.
Dikatakan, BUMN masih menguasai lebih dari 50 persen perekonomian nasional dan secara tidak sadar menikmati oligopoli dan monopoli. Tidak ada jalan lain selain membuat BUMN menjadi perusahaan yang efisien, menguntungkan, dan kalau perlu bisa segera go public. Sebagai perbandingan, menurut Mochtar, di RRC lebih dari 50 BUMNtelah masuk ke pasar modal. Bagaimana dengan Indonesia?
Sekarang kita berada pada abad yang mementingkan perbandingan teknologi dan mutu manusia. Itulah sebabnya ia sangat memperhatikan mutu pendidikan di Indonesia. Mendirikan Sekolah Pelita Harapan dan Universitas Harapan adalah bagian dari kepeduliannya terhadap dunia pendidikan nasional. Belum lama ini ia pun ditunjuk menjadi Wali Amanah Universitas Indonesia.
Mochtar yang pernah mengenyam pendidikan di The Eastern College, Chung Yang University, Nanking, RRC ini memiliki obsesi agar manusia Indonesia memiliki kualitas yang setara dengan masyarakat maju lain hingga siap memasuki era globalisasi.
Mochtar Riady, yang senang membaca buku Peter Drucker dan Prof Freeman memperoleh gelar Doctor of Laws dari Golden Gate University, San Francisco, Amerika Serikat dan pernah menjadi pembicara tamu di Universitas Harvard pada pertengahan 1984. Pada saat senggang, salah seorang filsuf Grup Lippo ini lebih senang melakukan perjalanan ke sejumlah proyeknya.
Apa arti globalisasi buat Lippo? Menurutnya, perusahaan dan para eksekutifnya harus lebih cepat lagi mengantisipasi perubahan yang sangat cepat ini. Itulah sebabnya ia sangat hati-hati memilih orang-orang yang akan menduduki posisi Chief Executive Officer-nya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar